asal mula bahasa indonesia
Bahasa Indonesia mempunyai sejarah
jauh lebih panjang daripada Republik ini sendiri. Bahasa Indonesia telah
dinyatakan sebagai bahasa nasional sejak tahun 1928, jauh sebelum Indonesia
merdeka. Saat itu bahasa Indonesia dinyatakan sebagai bahasa persatuan dan
menggunakan bahasa Indonesia sebagai perekat bangsa. Saat itu bahasa Indonesia
menjadi bahasa pergaulan antaretnis (lingua franca) yang mampu merekatkan
suku-suku di Indonesia. Dalam perdagangan dan penyebaran agama pun bahasa
Indonesia mempunyai posisi yang penting. Deklarasi Sumpah Pemuda membuat
semangat menggunakan bahasa Indonesia semakin menggelora. Bahasa Indonesia
dianjurkan untuk dipakai sebagai bahasa dalam pergaulan, juga bahasa sastra dan
media cetak. Semangat nasionalisme yang tinggi membuat perkembangan bahasa
Indonesia sangat pesat karena semua orang ingin menunjukkan jati dirinya
sebagai bangsa.
Pada tahun 1930-an muncul polemik
apakah bisa bahasa Indonesia yang hanya dipakai sebagai bahasa pergaulan dapat
menjadi bahasa di berbagai bidang ilmu. Akhirnya pada tahun 1938 berlangsung
Kongres Bahasa Indonesia yang pertama di Solo. Dalam pertemuan tersebut,
semangat anti Belanda sangat kental sehingga melahirkan berbagai istilah ilmu
pengetahuan dalam bahasa Indonesia. Istilah belah ketupat, jajaran genjang,
merupakan istilah dalam bidang geometri yang lahir dari pertemuan tersebut.
Bahasa Indonesia diresmikan pada kemerdekaan Indonesia, pada
tahun 1945. Bahasa Indonesia adalah bahasa dinamis yang hingga sekarang terus
menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari
bahasa daerah dan asing. Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa
Melayu. Fonologi dan tata bahasa dari bahasa Indonesia cukuplah mudah,
dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam
kurun waktu beberapa minggu. Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang digunakan
sebagai pengantar pendidikan di sekolah di Indonesia.
Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu, sebuah bahasa
Austronesia yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak
abad-abad awal penanggalan modern, paling tidak dalam bentuk informalnya.
Bentuk bahasa sehari-hari ini sering dinamai dengan istilah Melayu Pasar. Jenis
ini sangat lentur sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi
kesalahan sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai
bahasa yang digunakan para penggunanya. Bentuk yang lebih formal, disebut
Melayu Tinggi, pada masa lalu digunakan kalangan keluarga kerajaan di sekitar
Sumatera, Malaya, dan Jawa. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya
sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif bahasa Melayu Pasar.
Pemerintah kolonial Belanda yang menganggap kelenturan
Melayu Pasar mengancam keberadaan bahasa dan budaya. Belanda berusaha
meredamnya dengan mempromosikan bahasa Melayu Tinggi, di antaranya dengan
penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Tetapi
bahasa Melayu Pasar sudah terlanjur diadopsi oleh banyak pedagang yang melewati
Indonesia.
Penyebutan pertama istilah “Bahasa Melayu” sudah dilakukan
pada masa sekitar 683-686 M, yaitu angka tahun yang tercantum pada beberapa
prasasti berbahasa Melayu Kuna dari Palembang dan Bangka. Prasasti-prasasti ini
ditulis dengan aksara Pallawa atas perintah raja Sriwijaya, kerajaan maritim
yang berjaya pada abad ke-7 dan ke-8. Wangsa Syailendra juga meninggalkan
beberapa prasasti Melayu Kuna di Jawa Tengah. Keping Tembaga Laguna yang
ditemukan di dekat Manila juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan
Sriwijaya. Karena terputusnya bukti-bukti tertulis pada abad ke-9 hingga abad
ke-13, ahli bahasa tidak dapat menyimpulkan apakah bahasa Melayu Klasik
merupakan kelanjutan dari Melayu Kuna. Catatan berbahasa Melayu Klasik pertama
berasal dari Prasasti Terengganu berangka tahun 1303. Seiring dengan
berkembangnya agama Islam dimulai dari Aceh pada abad ke-14, bahasa Melayu
klasik lebih berkembang dan mendominasi sampai pada tahap di mana ekspresi
“Masuk Melayu” berarti masuk agama Islam.
Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua
franca (bahasa pergaulan), namun pada waktu itu belum banyak yang
menggunakannya sebagai bahasa ibu. Biasanya masih digunakan bahasa daerah (yang
jumlahnya bisa sampai sebanyak 360).
Awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa
bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Di sana, pada Kongres
Nasional kedua di Jakarta, dicanangkanlah penggunaan Bahasa Indonesia sebagai
bahasa untuk negara Indonesia pasca kemerdekaan. Soekarno tidak memilih
bahasanya sendiri, Jawa (yang sebenarnya juga bahasa mayoritas pada saat itu),
namun beliau memilih Bahasa Indonesia yang beliau dasarkan dari Bahasa Melayu
yang dituturkan di Riau.
Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara
Republik Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1.
Jika bahasa Jawa digunakan,
suku-suku bangsa atau puak lain di Republik Indonesia akan merasa dijajah oleh
suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di Republik Indonesia.
2.
Bahasa Jawa jauh lebih sukar
dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus,
biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia,
derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami budaya Jawa, ia dapat
menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.
3.
Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan
bukan Bahasa Melayu Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Maluku, Jakarta
(Betawi), ataupun Kutai, dengan pertimbangan pertama suku Melayu berasal dari
Riau, Sultan Malaka yang terakhir pun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh
Portugis. Kedua, ia sebagai lingua franca, Bahasa Melayu Riau yang paling
sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa Cina Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun
dari bahasa lainnya.
4.
Pengguna bahasa Melayu bukan hanya
terbatas di Republik Indonesia. Pada tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain
Republik Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih
dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan
Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara
jiran di Asia Tenggara.
5.
Dengan memilih Bahasa Melayu Riau,
para pejuang kemerdekaan bersatu lagi seperti pada masa Islam berkembang di
Indonesia, namun kali ini dengan tujuan persatuan dan kebangsaan. Bahasa
Indonesia yang sudah dipilih ini kemudian distandardisasi (dibakukan) lagi
dengan nahu (tata bahasa), dan kamus baku juga diciptakan. Hal ini sudah
dilakukan pada zaman Penjajahan Jepang.
Mulanya Bahasa Indonesia ditulis dengan tulisan Latin-Romawi
mengikuti ejaan Belanda, hingga tahun 1972 ketika Ejaan Yang Disempurnakan
(EYD) dicanangkan. Dengan EYD, ejaan dua bahasa serumpun, yakni Bahasa
Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin dibakukan.
0 komentar:
Posting Komentar